Cerpen berjudul Semangkuk Perpisahan di Meja Makan
Semangkuk Perpisahan di Meja Makan
Oleh: Miranda Seftiana
Ibu saya bilang perempuan harus bisa memasak. Setidaknya satu menu sepanjang hidupnya. Saya merasa tidak setuju, terlebih ketika hidup sudah nyaris-nyaris mirip di surga urusan lapar dan makan.
Betul. Semasa kecil, saya sering didongengi ibu. Katanya hidup di surga itu nyaman sekali, tinggal tunjuk langsung jadi. Mau anggur akan diantar ke hadapan. Mau minum dan makan juga demikian. Bukankah sekarang zaman juga sudah begini? Haus dan lapar tinggal buka ponsel. Hanya perlu satu jari untuk mcmbuatnya ada di depan mata. Lalu, mengapa harus susah payah memasak segala?
Bukan. Bukan saya tidak pernah memasak sama sekali. Saya pernah merebus mi instan, menggoreng telur, atau beberapa hal lain untuk bertahan hidup. Lebih-lebih ketika masih mahasiswa dulu. Tapi ini berbeda. Memasak yang dimaksud ibu saya bukan sekadar bisa, melainkan memang lihai sebab akan memengaruhi rasa.
Sekali lidah harus langsung enak terasa sehingga sampai sajian tandas di piring kenangan baiklah yang terbawa. Maka, demi memenuhi angan-angan punya anak perempuan yang bisa menyajikan penganan enak itu, ibu kemudian mendesak saya datang ke rumahnya.
“Ambil libur dua hari apa tidak bisa sama sekali?” desaknya di ujung telepon.
Saya menjepit ponsel di antara kepala dan bahu sementara sepasang tangan masih berusaha melepaskan sarung karet berwarna pucat. Saya memang baru keluar dari ruang operasi ketika ibu menelepon lagi untuk kesekian kali.
“Susah, Ibu. Saya punya jadwal bedah sesar setidaknya sampai akhir tahun ini. Apalagi menjelang hari raya, selain musim hujan, juga musim orang melahirkan.”
Saya dapat mendengar embusan napas ibu di sana. Suaranya terlalu kentara untuk ruang operasi yang hening dan sepi.
“Apa yang bisa memastikan nyawa anak manusia sampai dengan baik ke dunia hanya kamu?” sindir Ibu terkesan tajam.
“Ya tidak,” jawab saya sembari membuka penutup sampah dan melempar sarung tangan karet itu ke dalamnya.
“Berapa dokter kandungan di rumah sakitmu?”
“Kalau begitu tukar jaga kan bisa, kecuali memang kamu tidak menginginkannya!” sentak Ibu sebelum mengakhiri panggilan.
Saya mengusap wajah dengan sebelah tangan. Tidak mengerti dengan sikap ibu barusan. Seolah-olah jika saya tidak bisa memasak, maka akan berbuah kiamat. Padahal, suami saya saja mengerti. Kami sudah sering memesan makanan yang diinginkan dari berbagai penyedia layanan katering rumahan.
Dari yang enak sampai yang sehat. Dari yang dikelola ibu rumah tangga sampai ahli gizi juga ada. Anak-anak juga tidak jauh berbeda. Pagi terbiasa sarapan roti atau sereal dengan susu. Siang makan katering sekolah, malam bisa pesan dari aplikasi ponsel. Begitu mudah hidup sekarang, mengapa harus kembali mengakrabi wajan dan api?
Setelah berdiskusi dengan suami dan membujuk rekan bertukar jaga, di sinilah saya sekarang, rumah ibu yang rindang. Halaman rumahnya dihiasi hamparan rumput dengan dinding dirambati bunga putih berdaun lebar. Ibu masih senang selera lama. Tanamannya adalah bugenvil aneka warna, telinga gajah, dan lidah mertua.
Begitu membuka pintu, ia segera memeluk dengan erat.
“Saya hanya bisa sampai besok di sini.”
“Tidak bisa diperpanjang?”
Saya menggeleng. Ibu mendesah. Andai ibu tahu untuk dua hari ini saja saya harus dinas dari pagi bertemu pagi. Merapel jadwal hingga membuat lutut rasanya sulit berdiri.
“Ya sudah, kau istirahat dulu. Esok subuh kita belanja bahan membuat gangan ke pasar.”
Lantai dapur mendadak penuh oleh jagung, ubi kayu, kacang panjang, waluh, aneka bumbu, dan umbut kelapa. Bahan terakhir ini yang paling mahal di antara lainnya. Mungkin karena demi mendapatkannya harus menumbangkan sebatang kepala. Merelakan mayang tak berkembang menjadi puluhan buah.
Sementara ibu mempersiapkan sayuran, saya dimintanya mengolah bumbu. Namun, belum apa-apa sudah terdengar suaranya menyela.
“Bukan begitu cara memecah kemiri, nanti hancur!”
“Memang apa bedanya, Bu? Toh, sama-sama akan dihaluskan juga.” Saya menyanggah. Ibu menggeleng.
“Kau tahu setiap manusia ini akhirnya akan mati dan hancur dalam tanah kan?”
Saya mengangguk lantas berucap, “Lalu, apa hubungannya dengan cara memecah kemiri?”
“Kalau sudah tahu akan mati dan hancur, apa sembarangan juga perlakuanmu saat mengeluarkan bayi dari perut ibunya?”
Saya diam. Tanpa menyanggah saya saksikan ibu memecah kemiri. Gerakannya hati-hati sekali. Persis seperti menolong bayi memecah gelap rahim menuju bumi. Mula-mula ibu menjepit kemiri dengan telunjuk dan jempol, lalu ulekan ia ketukkan sehingga terdengar suara kulit keras yang rekah. Ibu kemudian melebarkan rekahan dengan ujung pisau hingga terpisah.
Hasilnya sebiji kemiri yang utuh dan bersih. Saya menerimanya dari tangan ibu dengan takjub. Bagai sekolah lagi, saya dituntun melalui satu per satu proses memasak sayur ini. Proses mengolah bumbu menjadi terpenting menurut ibu, terlihat dari caranya menerangkan satu demi satu.
“Kalau membuat gangan bersantan, bawang merahnya mesti lebih banyak,” beri tahu Ibu seusai merajang bawang di atas cobek langsung.
“Entahlah. Nenekmu yang mengajari Ibu. Mungkin supaya lebih gurih.”
Saya tersenyum kecil. Sebuah penjelasan asal ada. Berbeda semasa kuliah dulu. Segalanya dituntut sumber, dikutip dari penelitian mana, juga tahunnya berapa. Tidak terkecuali urusan bawang-bawangan. Seperti yang pernah tidak sengaja saya baca saat mencari sumber referensi tentang antibiotik alami. Konon bawang merah dan bawang putih bisa digunakan sebagai antibiotik, antiperadangan, bahkan melawan kanker.
Itu sebabnya dulu saya sempat mengira urusan domestik rumah tangga tidak lebih sulit daripada mengeluarkan diri dengan kepala tegak dari fakultas kedokteran. Tidak lebih sulit dari berjuang lulus dari semua ujian dengan nilai memuaskan. Karena dulu teman-teman saya sering berkata ingin nikah saja jika diterpa ujian macam-macam ditambah tugas beragam. Nyatanya tidak sepenuhnya betul juga. Banyak hal yang saya tak tahu, termasuk urusan bumbu.
“Haluskanlah,” ujar Ibu setelah selesai menaruh dan merajang bawang, kunyit, jahe, kencur. lengkuas, juga lainnya di cobek. “Setelah itu kau tumis bumbunya dengan sedikit minyak dan api kecil.”
Ibu kemudian beranjak menuju panci. Ia tampak mengaduk sebentar, mengangkat bergantian potongan ubi kayu, waluh, jagung. Setelah dipastikan agak lunak, ibu kemudian memasukkan potongan kacang panjang. Saya sendiri baru saja selesai mengulek bumbu dan bersiap menumisnya di tungku sebelah kiri ibu.
“Kalau sayurnya sudah lunak. kau masukkan dulu santan encer.”
Saya memperhatikan instruksi ibu dengan saksama. Memberi catatan kecil di buku yang saya bawa. Sekarang tulisan saya lebih parah dari cakar ayam. Ibu banyak memberi instruksi dan cepat sekali. Tidak akan ada salinan materi dari file presentasi. Semua mesti disimak dan dicatat bersamaan.
Setelah letupan pertama, ibu kemudian memasukkan potongan garih, ikan gabus asin yang biasa dijadikan lauk makan. Disusul bumbu yang telah saya tumis tadi.
“Kau mesti tahu, Hen, perempuan itu seperti sekotak bumbu dapur. Dia yang menentukan seperti apa rasa sajian, rasa kehidupan. Manis, asin, asam, pedas. Kalau dia pandai menakar, setiap rasa akan seimbang, hasilnya gurih dan terkenang,” ujar Ibu sembari menambahkan gula dan garam.
Aku kemudian dimintanya mengaduk dan menambahkan santan kental. Perlahan- lahan gangan berubah warna dari yang kuning pekat menjadi sedikit lebih terang. Menjelang api dimatikan, ibu menabur rajangan cabai merah besar.
“Ambil mangkuk di rak. Hen.”
“Ibu menanak beras usang ya?” Saya mengernyitkan dahi begitu menyendok nasi. Beras usang itu beras lama. Nasinya lebih pera.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Kok yang usang, Bu? Kita kan tidak sedang hajatan.”
“Kau tahu mengapa orang hajatan pantang memakai beras baru?”
“Karena cenderung lebih lembek. Kalau dimasak jadinya sedikit, bisa-bisa tidak mencukupi jamuan tamu yang datang.”
“Begitulah hakikat orang yang lebih tua. Dia mesti seperti beras usang, mencukupi banyak orang. Ibu berharap kau juga bisa begitu. Kalau Ibu sudah tidak ada, kaulah yang tertua di keluarga kita, cukupilah siapa-siapa yang perlu dibantu.”
“Bu,” rajuk saya lirih. Sejak Bapak wafat, percakapan tentang kematian memang membuat saya tak nyaman. “Bicara apa Ibu ini. Ibu masih sehat, pasti panjang umur.”
Ibu mengulas senyum tipis. “Nak, manusia itu seperti sayur dalam semangkuk gangan umbut. Usia yang paling tua serupa ubi kayu, keras, hambar. Usia sepertimu mirip dengan potongan waluh. Tidak terlalu keras dengan sedikit rasa manis. Paling muda ya tidak ubahnya umbut. Lembut dan manis. Semua sama akan lunak juga setelah dimasak. tidak peduli ia yang paling keras atau lembut. Kita pun sama, akan wafat juga. Tidak peduli sudah baya atau masih muda.”
Melihat raut wajah putrinya yang berubah muram, lekas-lekas ibu menyendokkan gangan ke piring saya seraya berujar, “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Mari kita makan.”
Selepas Subuh saya berniat pamit pulang pada Ibu. Libur telah usai dan saya harus kembali ke rumah sakit segera. Satu kali ketuk, ibu tidak menyahut. Juga ketukan-ketukan berikutnya. Mungkin ibu tertidur selepas berzikir pikir saya.
Namun, perkiraan saya meleset saat mendapati ibu lunglai menyandar di pintu lemari. Tubuhnya masih terbalut mukena dengan tasbih di tangan. Lekas-lekas saya raba pergelangan tangan dan lehernya. Nihil, ibu telah tiada sebelum saya sempat berpamitan padanya.
Suami dan anak-anak saya menyusul pagi harinya. Pengeras suara di masjid lantang mengabarkan kepergian ibu pada orang-orang. Sanak saudara dan handai taulan kami berdatangan. Proses pemakaman dipersiapkan. Tidak terkecuali sajian pada prosesi turun tanah; hari pertama kematian dimulai sejak jenazah turun dari rumah dan dibawa menuju liang lahat.
“Kau yakin tidak mau pesan jamuan dari katering saja?” Suami saya memandang ragu.
Saya melepas napas. “Saya hanya mau Ibu bahagia karena putrinya bisa memasak. Walaupun cuma satu, itu juga sajian untuk kematiannya.” ***
Broken home, judul kali ini adalah broken home. Siapa sih yang gak tau apa itu broken home, semua orang pasti tau, kebanyakan dari mereka mengira itu hanya masalah sepele, tapi bagi mereka yang merasakan, itu adalah pengalaman terburuk di kehidupan mereka.
Aku, adalah bukti nyata kalau broken home sangat menyeramkan. Bayangkan saja, di masa aku kecil aku kehilangan sosok ibu, sosok yang sangat kuat bagi seorang anak kecil. Banyak yang mengira kalau aku baik-baik saja, ada juga yang mengira kalau aku tidak terpengaruh oleh adanya kerusakan rumah di kala aku kecil.
Semua itu bohong, sewaktu kecil hampir setiap hari aku menangis, hampir setiap kali rasanya Hampa. Kosong. Sunyi. Sepi. Sedih. Apa yang mereka lihat itu hanya alter ego. Kepribadian yang lain dari diriku yang asli atau bisa dikatakan itu adalah sisi lain dari diriku.
Terlalu lama kayaknya prolognya. Tanpa basa-basi lagi, namaku Toto, mungkin sekarang aku lebih baik daripada aku yang dulu. Sudah lama sekali aku tidak menangis, dan sudah lama juga aku tidak merasakan kasih sayang ibu. Ayah dan ibuku bercerai ketika umurku 4 tahun, masih sangat kecil, bahkan terlalu kecil bagi seorang anak yang harus ditinggalkan ibunya.
Aku masih ingat semua kejadian awal, semua pertengkaran ayah dan ibuku. Semua kejadian di pengadilan, semuanya terekam baik di kepalaku, di otakku, memori itu seakan tidak bisa dihapus. Termasuk kata terakhir ibuku sebelum dia pergi meninggalkanku, ‘Mulai sekarang jadi anak yang baik, jangan nyusahin ayah. Ibu pergi dulu.’ Dengan polosnya aku menjawab, ‘Iya, ibu cepat pulang’. Jawaban yang terlalu lugu, aku masih umur 4 tahun dan aku hanya berharap bisa ketemu ‘dia’ lagi. Ketika itu aku masih berpikir mungkin ibuku pergi ke luar kota, lalu tiba-tiba pulang bawa mainan besar, tapi kenyataannya tidak. Itu tidak pernah terjadi. Entah bagaimana aku tahu kalau sebenarnya ibuku tidak pergi, melainkan dia bercerai dengan ayahku. Coba pikirkan apa yang aku bayangkan? Yang saat itu bayangkan adalah kosong. Aku bingung apa itu cerai?.
Ada pertanyaan yang sampai saat ini menjadi misteri di kepalaku. Pernyataannya sederhana, ‘Kenapa kalian cerai? Apa karena kehadiranku? Atau justru ada penyebab lain?’. Ingin sekali aku bertanya kepada ayahku, tapi buat apa juga, biarlah itu jadi masa lalu. Yang lalu biarlah berlalu.
Setelah perceraian itu, aku, ayahku, neneku, tanteku, dan kedua saudaraku pindah. Aku tumbuh sebagai anak yang tidak pernah merasakan sosok ibu. Bahkan ketika pendaftaran masuk ke sekolah dasar aku hanya ditemani tanteku. Tumbuh sebagai anak yang kurang perhatian, membuatku dipaksa menjadi dewasa. Ada yang bilang ketika kita bertambah umur, maka kita akan bertambah dewasa. Tapi itu tidak berlaku untukku, menurutku keadaanlah yang membuat kita bertambah dewasa, umur hanya sebuah angka.
Ketika aku kelas 2 sd salah satu temanku berkata dia lagi kesal sama ibunya, dia bilang begini, ‘Aku malas sama ibuku’. Lalu aku menjawab, ‘Kenapa?’. Dia menjawab, ‘Kenapa aku masih ditunggu di depan pintu gerbang sekolah? Kan aku malu’ Aku diam, bingung. ‘Kenapa malu?’ jawabku polos. ‘Malu aja’ jawab dia, singkat. Entah apa yang ada dipikiran dia, memang ada anak yang malu kalau masih ditunggu orangtuanya?.
Tumbuh sebagai anak yang kurang kasih sayang. Ketika kecil aku melihat cinta dan jenisnya seperti seram, ketika remaja aku takut itu masih kugenggam nyaman, dan semua itu aku dapat dari kecil.
Ketika kelas 3 sd, ayahku menikah lagi. Aku bahagia, entah apa yang membuat aku bahagia. Aku tumbuh di lingkungan yang berbeda, kehidupanku bisa dibilang nomaden. Sewaktu kecil aku tinggal bersama kedua orangtuaku, tak lama dari itu kami berpisah aku ikut ayahku, dan ibuku pergi. Setelah itu juga aku dikasih sebuah kehidupan baru yaitu sekolah. Kelas 4 sd aku berpindah sekolah, yang mana itu memaksa otakku, tubuhku, kedewasaanku. Aku bilang dari awal, bahwa lingkunganlah yang membuat kita dewasa, umur hanyalah angka.
Di sekolah yang baru aku dipaksa adaptasi, aku dipaksa menyesuaikan dengan keadaan yang baru. Teman pertamaku di sd yang baru pernah bercerita tentang ibunya, dia bilang, ‘Kamu pernah gak dimarahi?.’ ‘Maksutnya?’ tanyaku. ‘Iya gitu, kayak misal kita berbuat nakal terus dimarahi, pernah gak?’ jawab dia. ‘Engga deh, gak pernah’ jawabku, singkat. Memang aku tidak pernah berbuat nakal kalau di depan ayahku, tapi mungkin pernah sih kalau tidak ada ayahku. Ayahku mendidik aku cukup keras, jadi aku selalu takut ayahku.
Ada yang pernah bilang juga sama aku, dia bilang gini, ‘Kamu pernah gak tidur bareng orangtua?.’ Aku jawab jujur, ‘Pernah, tapi itu dulu’ Dia menjawab, ‘Enak ya, coba aja aku jadi kamu’ ‘Yakin mau jadi kayak aku?’ tanyaku. ‘Iyalah, enak jadi kamu,’ jawab dia. ‘Coba bayangin aku, aku nih, yang udah besar masih aja tidur sekamar bareng ayah-ibuku.’ ‘Bersyukur aja kali, lah coba, kamu masih mending, aku?’ sahutku. ‘Udah lama gak tidur bareng, kedua orangtuaku cerai sedari aku kecil’ ‘Yang bener?’ tanya dia, kaget. ‘Iyaalah, masa aku bohong’ kataku.
Lanjut ke masa smp, dimana lagi-lagi aku harus bertemu orang baru, bagiku pengalaman ini tidak cukup asing. Aku selalu ngelakuin ini dari kecil. Ketika kelas 3 smp, salah temanku bertanya, ‘Gimana sih rasanya broken home?’ Aku menjawab, ‘Ya gitu, enak sih kalau dipikir’ Temanku bingung, aku juga bingung. ‘Kok enak? Apanya yang enak?’ ‘Gatau, asal keluar di kepala aja’ jawabku. ‘Tapi jujur, broken home membuatku semakin dewasa, aku jadi tau kalau tidak semua cinta itu baik, tapi sebagian dari cinta itu seram’ sambungku.
Dari kecil aku dibentuk oleh rasa takut, hanya ada satu pertanyaan yang selalu aku ingat ketika aku lagi sendiri, ‘Untuk apa aku dilahirkan, kalau pada akhirnya aku ditinggalkan.’ Tumbuh tanpa kasih sayang membuat aku menjadi pendiam, aku sering kehilangan emosi. Aku lebih senang ketika melihat kejadian brutal, apa aku tumbuh menjadi psikopat?. Tidak, aku bukan psikopat, tapi aku hanya orang yang kehilangan emosinya. Karena aku, kehilangan segalanya.
Keluargaku meninggal 2 minggu yang lalu, para polisi mengatakan kalau mereka dibunuh oleh seseorang. Dan lebih kejamnya pembunuhan ini direncana, seakan pembunuh ini punya dendam terhadap keluargaku.
‘Udah selesai ceritanya?’ kata temanku. Ada keheningan sesaat.
‘Berikan ini kepada keluargaku, bilang ke mereka aku sudah bahagia’ kataku. ‘Ini apa?’ tanya dia. ‘Cuma secarik kertas yang isinya mungkin bisa membuat mereka tenang’ kataku. Dia mengambil secarik kertas, lalu memasukkan ke katong yang ada di dadanya. ‘Pasti aku sampaikan’ katanya. ‘Kamu sudah siap? Kalau sudah, ayo kita pergi’ ‘Aku selalu siap, aku tau konsekuensinya. Aku tau apa yang kuperbuat’ kataku.
Kami berdua jalan di sebuah lorong, gelap, pengap, tidak ada jendela sekalipun selama kami berdua berjalan. Kalau kalian tidak tau, temanku bekerja di kepolisian. 3 menit kami berjalan, dengan keadaan tanganku terikat borgol. Pada akhirnya kami sampai di depan khalayak orang, hakim, serta puluhan polisi.
Aku berdiri di depan mereka semua, dengan tiang setinggi 4 meter di sebelahku. ‘Suadara Toto, anda dinyatakan bersalah, atas pembunuhan berantai yang menyebabkan 13 orang meninggal. Dan tragisnya anda melakukan itu dalam waktu 3 bulan dan 13 orang itu juga termasuk keluarga anda. Maka sesuai hukum yang berlaku anda akan digantung. Apa anda siap menanggung itu semua?’ kata hakim. ‘Saya selalu siap’ jawabku, singkat. ‘Apa ada kata terakhir?’ tanya hakim. ‘Mana yang lebih buruk? Hidup sebagai monster atau mati sebagai orang baik?.’
Cerpen Karangan: Basyasah Blog / Facebook: Syahvier
Cerpen Broken Home merupakan cerita pendek karangan Basyasah, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Cerpen berjudul Robohnya Surau Kami
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.
Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, “Pisau siapa, Kek?”
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”
“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.
“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan Pengasih dan Penyayang kepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang- orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, O, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Sudah kuceritakan semuanya, O, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang di antaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,’ sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguh pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!’
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia?”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi kerja.” ***
Cerpen berjudul Sesaat Sebelum Berangkat
Sesaat Sebelum Berangkat
Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat.
Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu.
”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”
Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang sangat kukenal.
”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Kelak kalau kamu punya anak, kamu akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang sesungguhnya.”
Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beralih kemudian menuangkan poci teh di gelas perempuan di depanku. Pelayan itu lalu pergi setelah mempersilakan kami menikmati hidangannya.
”Apa yang dia lakukan selama seminggu berada di tempatmu?”
”Kami banyak jalan-jalan berdua, menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan aku sedang tidak sibuk. Aku pikir, ia sedang liburan sekolah.”
”Sekolah tidak sedang libur, dan ia tidak pamit kepadaku.”
”Dan kamu tidak memberitahuku.”
”Aku pikir ia pergi dengan seizinmu.”
”Kamu bohong. Kamu tahu kalau ia minggat dari rumah.”
Aku diam. Tidak mau memperpanjang urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk berdebat. Tiga perempuan masuk ke ruangan ini. Bau harum menebar ke seluruh penjuru ruangan.
Perempuan di depanku mendesah. Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok, menyulutnya.
”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu SMA!”
Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…”
”Itu kamu. Setiap keluarga punya tata tertib yang tidak boleh dilanggar.”
”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu yang kupikir penting menyangkut dia.”
”Jangan terlalu memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.”
”Hey, kamu hanyalah pamannya. Aku, ibunya!”
”Aku tahu, dan aku tidak sedang ingin merebut apa pun darimu.”
”Tapi kamu seperti sedang menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik!”
Suaranya terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami diam untuk beberapa saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang.
”Jendra, anak yang manis. Tidak sepertimu…” desisnya kemudian.
Aku mulai merasa darahku naik.
”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.”
Darahku semakin terasa naik.
”Aku tahu persis karena aku ini ibunya, ibu kandungnya!”
Dengan suara menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?”
Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak kasar. Aku gantian menyulut rokok.
”Risa, aku akan membuka sedikit rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali saja aku akan menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi buruk yang paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi tidak lulus SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.”
Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal sekolah…”
”Bukan itu poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan tawanya.
”Aku tidak suka sekolah, dan aku harus menjalani itu semua. Memakan hampir sebagian besar waktu yang kumiliki… Aku masih bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku itu, lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak tok sepatu para guru…”
”Kamu memintaku agar Jendra tidak sekolah?”
”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan yang gila, aku tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu yang menyiksaku, yang kelak kemudian tidak berguna.”
”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.”
”Tapi kamu bukan aku.”
”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!”
”Aku hanya sedang menceritakan diriku!”
”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra yang minggat dari rumah dan tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas aku tahu…”
”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku kecil untuk menempeleng wajahnya. Tapi belum pernah kesampaian.
”Tahukah kamu, kalau sejak kecil kamu selalu menyusahkan orangtua kita?”
Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin sekali melemparkan benda itu di mulut pedasnya.
”Dan tahukah kamu kalau sifat itu bisa menular?”
Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku kepada Jendra?”
”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah dan tidak mau lagi mengikuti berbagai kursus!”
”Jadi kamu menuduhku sebagai biangnya!”
Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris kehilangan kontrol. Untuk meredakan semua yang kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput, dan menyulut lagi sebatang rokok.
”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa minggat?”
”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya yang paling fatal adalah… Ia minggat ke tempatmu!”
Begitu mendengar kesimpulan itu, aku merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan buruk. Rasa marah sudah benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan ini bertambah semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan berhubungan dengan Jendra kepada Risa.
”Rif, kamu menikah saja belum.”
”Ris, tidak ada hubungannya hal itu dengan obrolan kita hari ini!”
”Ada! Mengambil beban tanggung jawab yang sesederhana itu saja kamu tidak sanggup, dan kamu ingin menceramahiku soal bagaimana mendidik anak…”
”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang yang merasa bisa mendidiknya!”
”Apa yang dia katakan?”
”Dia ingin pindah sekolah.”
”Itu sekolah paling favorit.”
”Favorit menurutmu, tetapi tidak menurutnya.”
”Dia masih anak-anak… Dia belum tahu apa pentingnya ilmu.”
”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!”
”Ya jelas menurutku, karena aku lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan punya tugas untuk memastikan dan menjamin masa depannya!”
”Ia ingin kursus bahasa Perancis.”
”Boleh. Tetapi dia tidak boleh meninggalkan kursus bahasa Mandarin.”
”Dia ingin kursus main drum.”
”Boleh! Tapi dia tidak boleh meninggalkan kursus belajar piano.”
”Kenapa dia tidak boleh memilih?”
”Karena dia belum bisa memilih.”
”Dia terlalu capek dengan itu semua…”
”Dia harus belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan menyelamatkannya dari persaingan di masa depan.”
”Kenapa kamu menyuruhnya memutuskan pacarnya?”
”Dia masih kelas satu SMA!”
”Kamu dulu pacaran ketika masih kelas tiga SMP.”
”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!”
”Kamu merasa lebih baik dan lebih hebat dari Jendra, hah?”
”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan apa arti anak bagi orangtua. Rif, aku hanya minta, kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi aku!”
”Ris, aku bawakan hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota ini…”
”Aku tidak butuh informasi itu.”
Kali ini, darahku benar-benar mendidih.
”Aku khawatir kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.
”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra adalah urusan keluargaku.”
Pembicaraan terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher. Aku hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku. Aku ingin mengatakan apa yang sempat dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, aku khawatir gelegak itu akan membeludak.
”Kamu langsung pulang atau menginap?”
”Aku masih ada urusan kantor.”
Aku memberi isyarat dengan kepalaku, ia boleh pergi.
Ia bangkit, lalu melangkah pergi.
Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.”
Ia kembali berjalan menuju pintu.
Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Tetapi aku sudah terlalu marah. Dan aku juga membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar apa yang seharusnya kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia mungkin hanya akan semakin membuatku marah.
Perasaanku kacau. Aku keluar, menyetop taksi, pergi menuju ke bandara.
Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita masih menangis si atas sofa. Ia melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu duduk di sampingnya.
”Kenapa belum bersiap?” dalam isak, Mita bertanya.
Aku hanya diam. Mita memegang tanganku.
”Kita bisa ketinggalan pesawat…”
Aku hanya bisa menarik-narik rambutku ke arah belakang. ”Kupikir kamu saja yang berangkat.”
”Kenapa bisa begitu?”
Aku menatap wajah pacarku. ”Aku tidak sanggup datang.”
”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepada keluargamu?”
”Mereka tahu sifatku, jadi tidak usah khawatir.”
Aku menganggukkan kepala.
Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar, meraih tasnya.
”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan ini semua?”
Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang ke pemakamannya.”
Mita melangkah pergi keluar.
Beberapa saat kemudian, aku membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto yang tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku, sebelum keesokan harinya ia pulang kembali ke rumah orangtuanya.
Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang ingin dilakukannya. Omongan yang seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu marah, dan takut semakin marah membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar omonganku.
Kini, aku tidak berani membayangkan bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, begitu aku sampaikan apa yang sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra?
Kini, aku menangis keras-keras di dalam kamar. Sendirian.***
Cerpen berjudul Ripin
KETIKA kawan-kawannya berhamburan ke jalan raya, Ripin sedang susah payah menghitung jumlah kelereng yang dimenangkannya. Siang itu tidak sedikit pun terlintas dalam pikirannya bahwa masa kecilnya akan segera berakhir. Dua puluh dua, mungkin lebih. Ia cepat-cepat memasukkan kelereng-kelereng itu ke dalam saku celananya dan bergegas menyusul kawanannya.
Penarik perhatian kawanan itu tak lain adalah mobil pick up berpengeras suara dan digantungi poster besar berwarna-warni. Mesin mobil itu bergerung seperti tak mau kalah ribut dengan pengeras suara, membuat lagu Rhoma Irama terdengar lebih buruk dari yang biasanya Ripin dengar dari radio Bapak. Ketika mobil itu melintas di depan mereka, Ripin dikejutkan tatapan laki-laki di sebelah sopir yang sedang memegang mikrofon. Laki-laki itu punya cambang dan janggut yang rapi seperti Rhoma Irama. Rambut keritingnya pun seperti Rhoma Irama. Ripin sempat teringat bapaknya Dikin yang juga punya cambang, janggut, dan rambut seperti Rhoma Irama, tapi bapaknya Dikin sudah lama mati ditembak.
Entah siapa yang mulai, seluruh kawanan itu tiba-tiba saja sudah berteriak-teriak girang dan berlarian di belakang mobil. Berlari mengejar mobil yang lajunya tidak lebih cepat dari sapi, Darka, kawannya yang bertubuh paling besar, berhasil melompat naik ke bagian belakang mobil dan bertolak pinggang jumawa. Begitu beberapa yang lain mencoba mengikuti Darka dan terjatuh, sorak-sorai kawanan itu terdengar semakin riuh.
Ripin berlarian agak jauh di belakang. Duapuluhan kelereng yang dimenangkannya dan belasan yang lain yang merupakan modalnya, membuat kantung celananya sesak, dan kejadian semacam ini bukannya tak pernah ia alami. Dulu, jahitan di celananya sobek dan kelerengnya berhamburan. Kawan-kawannya berebutan mengambil kelereng-kelereng itu dan tak seorang pun bersedia mengembalikannya. Kali ini ia harus hati-hati.
Semula, Ripin berencana untuk mengikuti kemanapun kawanannya berlari, tapi pengumuman yang didengarnya dari pengeras suara itu membuatnya berhenti. Di antara suara musik ketipung dan mesin mobil, lamat-lamat didengarnya suara, seperti suara Rhoma Irama, sedang mengumumkan pasar malam, tong setan, dan rumah hantu. Nanti malam, di alun-alun. Ripin tercenung, lalu berbalik arah dan berlari pulang ke rumah.
Mak sedang duduk meniup tungku ketika Ripin menerobos masuk ke dapur sambil terengah-engah. Tak bisa ditangkapnya dengan jelas apa yang dikatakan mulut kecil anaknya. Ripin sibuk berceloteh sembari memasukkan kelereng-kelerengnya ke dalam sebuah kaleng bekas susu. Suaranya bertumpuk-tumpuk dengan bunyi kelereng yang satu per satu membentur dinding dalam kaleng. Hanya sepotong-sepotong dari kalimat Ripin yang bisa didengar Mak, tapi itu cukup. Tak ada pasar malam. Tak ada tong setan.
Ripin merajuk. Mengatakan setengah berteriak tentang kedatangan Rhoma Irama dan berharap Mak terbujuk. Mak berpikir, bagaimana mungkin Rhoma Irama mau datang ke kota busuk ini. Rhoma Irama cuma mau datang ke Cirebon atau Semarang. Tegal mungkin saja, tapi tidak kota kami. Begitupun, nama ini membuat raut muka Mak sempat berubah cerah sebelum kemudian keningnya berkerut cemas.
Ripin tahu itu. Ripin tahu kalau Mak diam-diam menangis setiap kali mendengar Rhoma bernyanyi di radio. Ripin bahkan pernah melihat Mak mendekap dan menimang-nimang radio itu. Padahal Mak sudah bersumpah tidak menangis. Sekeras apapun Bapak menghantam wajah Mak.
Ripin melihat cemas ke wajah Mak dan berharap sekali ini Mak masih mau berbuat nekat. Harapan ini malah membuat Ripin merasa berdosa. Terakhir kali Mak nekat, pulang nonton layer tancap Satria Bergitar, Bapak menghajar Mak sampai dini hari. Kalau sudah begini Ripin cuma bisa nyumput dibawah selimut dan menahan mulutnya yang menangis supaya tidak bersuara.
“Mak beli duwe duit,” kata Mak berbohong. Ripin tahu Mak menyimpan sedikit uang di kaleng biskuit tempat bumbu dapur. Cukup buat ongkos dan beli es lilin. Ripin marah karena Mak berbohong. Kemarahan membuatnya tidak lagi peduli pada ingatan atas bilur-bilur di wajah Mak. Mak, bohong itu dosa.
Sekali lagi Ripin menyebut nama Rhoma Irama, bersumpah demi Allah bahwa ia sudah melihatnya. Ganteng benar.
“Ganteng kien karo bapane Dikin.”
Mak tercenung. Ripin mengeluarkan semua senjatanya. Dia tahu, Mak senang dengan bapaknya Dikin. Kalau bapaknya Dikin lewat depan rumah, Mak suka mengintip dari belakang pintu. Suatu kali bahkan ia pernah melihat bapaknya Dikin sembunyi-sembunyi keluar dari pintu dapur rumahnya dan semakin bergegas begitu bersitatap dengan Ripin. Hari itu Mak kasih duit jajan, Ripin malah tambah curiga. Tapi Ripin tidak pernah menceritakan kejadian ini kepada siapapun.
Raut wajah Mak mengeras. Mak pasti berpikir tentang Bapak. Mak takut. Ripin sempat berpikir untuk pergi sendiri ke pasar malam. Sepertinya itu tidak sulit. Semua orang pasti tahu dimana tempat pasar malam didirikan, ia tinggal tak perlu malu-malu bertanya. Sayangnya ia masih takut. Nenek dulu pernah pesan agar Ripin tidak membantah Mak atau Bapak. Jangan main kemalaman. Hukuman untuk anak durhaka adalah kehilangan jalan ke rumahnya dan dikutuk untuk tersesat selamanya, begitu kata Nenek. Ripin bergidik dan semakin cemas kalau Mak menolak ajakannya.
Dulu Mak dan Ripin bisa bersenang-senang setiap malam, karena Bapak bisa dipastikan belum pulang sebelum Subuh. Bapak tidur sepanjang siang, dan kelayapan sepanjang malam. Memang Mak belum sempat mengajaknya ke kota, tapi setidaknya mereka tidak pernah lewat tontonan apapun yang ada di kampung mereka. Mak bahkan menemaninya nonton TVRI di kelurahan.
Itu dulu, waktu Bapak masih jagoan yang paling hebat. Sekarang sudah ada jagoan yang lebih hebat dari Bapak. Kata orang-orang, jagoan ini seperti setan. Tidak ada yang tahu siapa orangnya, dimana rumahnya, seperti apa tampangnya. Bapaknya Dikin salah satu korbannya. Suatu pagi ditemukan mayatnya mengambang di kali, luka tembak dua kali, di dada dan di dahi. Jagoan-jagoan setempat banyak yang sudah duluan mati. Dari namanya, Ripin menduga jagoan ini pastilah orang Kresten.
Semenjak jagoan setan ini berkeliaran, Bapak sering pulang. Bahkan bisa berhari-hari tidak keluar rumah. Mak dan Ripin jadi tidak bisa lihat tontonan dan Bapak jadi lebih sering menghajar Mak. Semenjak itu pula Bapak memutuskan untuk mengajar Ripin mengaji. Bosan menghajar Mak, diajar Bapak mengaji buat Ripin sama dengan bersiap-siap di hajar rotan.
Baru seminggu terakhir ini, Bapak rupanya sudah tidak tahan berdiam di rumah berlama-lama. Ia mulai sering keluar malam, tapi jadwalnya semakin sulit dipastikan. Tidak ada yang tahu untuk berapa lama ia pergi dan kapan ia pulang.
Sampai sore, Mak kelihatan gelisah, mondar-mandir di dapur. Ripin tahu kalau Mak gelisah artinya Mak sudah tidak tahan untuk dolan dan bersenang-senang. Mak sudah bosan dengar radio. Kalau sudah begini, Ripin tidak akan mendesak Mak lagi. Keputusannya sudah hampir bisa dipastikan, Ripin tinggal menunggu Mak menemukan jalan keluar. Sampai sore pula, Ripin ketiduran di kursi depan. Mimpi naik komidi putar.
Bapak masuk dan menendang kursi yang diduduki Ripin. Ripin terkejut, terjaga dan mendapati tangan kekar Bapak memuntir daun telinga kanannya. Dengan kasar, Bapak menyeretnya ke arah sumur, dan perintah Bapak kemudian tidak perlu dikatakan lagi. Ripin mengambil air wudhu dan bergegas shalat ashar.
Sehabis shalat, Bapak sudah menunggu di meja makan. Rotan panjang disiapkan di sisi kirinya dan Ripin mengeja huruf Arab di depannya dengan terbata-bata. Bapak sepertinya mabuk. Dari mulutnya keluar bau asam yang menusuk-nusuk hidung Ripin. Kalau mabuk, biasanya pukulan rotannya lebih keras. Belum dipukul Ripin sudah merasa tubuhnya nyeri.
Baru 10 ayat, Ripin melihat Bapak sudah menempelkan kepalanya ke meja. Di ayat ke-12, Ripin ragu-ragu bahwa yang didengarnya adalah dengkur halus Bapak. Di ayat ke-16 Ripin berhenti, Bapak sudah benar-benar tertidur. Dengkurnya keras sekali.
Ripin tak bisa memutuskan apakah sebaiknya ia pergi. Ripin tak bisa membayangkan kemarahan macam apa yang akan menimpanya jika Bapak tiba-tiba terjaga dan ia tak ada dihadapan Bapak. Pasrah, ia duduk dihadapan Bapak, dalam diam. Ia pikir, meneruskan mengaji pastilah percuma. Lebih baik diam. Sial, tiba-tiba Ripin kepingin kencing. Mak masih mondar-mandir di dapur. Ripin duduk tegang dan yang terlintas di kepalanya adalah wahana rumah hantu di pasar malam.
Menjelang maghrib barulah Bapak terjaga. Ripin masih duduk diam, menahan kencingnya, di depan Bapak. Keadaan menahan kencing membuat Ripin tidak terlalu siaga. Terjaga dan mendapati Ripin sedang mematung, membuat rotan di sisi kiri Bapak melayang ke arah tangan kanannya dengan keras. Ripin tersentak dan langsung memasang wajah pucat, tidak sepenuhnya karena perasaan sakit ditangannya. Ripin kencing.
Bapak mendengar bunyi gemericik itu dengan tatapan terpana. Ia melihat ke bawah meja lalu berdiri tegak menyambarkan rotan di tangannya ke wajah Ripin, sembari dari mulutnya tersembur sumpah serapah. Ripin menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan Bapak terus memukulinya. Ripin tak bisa menahan diri untuk tidak menangis dan menjerit kesakitan. Dalam kesakitannya ia merasa menonton Tong Setan jadi semakin tidak mungkin, sehingga ia menjerit lebih keras lagi. Mak bergegas datang dari arah dapur, memegangi tangan Bapak dan memohon padanya untuk menghentikan perbuatannya.
Bapak memang berhenti memukuli Ripin, tapi hasrat memukulnya sudah terlanjur tinggi. Bapak menyabetkan rotannya beberapa kali ke tubuh Mak. Mak terduduk di lantai, dan bergerak mundur hingga punggungnya menyentuh dinding, dan Bapak belum selesai. Mak tidak menjerit atau menangis. Mak diam. Tubuhnya seperti patung. Ripin berpikir bahwa kejadiannya akan sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Mak akan menutupi wajahnya, dan Bapak akan berhenti karena kelelahan.
Sore itu, ternyata tidak sama. Ripin tidak mengerti apa yang terjadi. Setelah beberapa lama sabetan rotan itu mengenai tubuhnya, Mak tiba-tiba mendongak, lalu menatap Bapak lekat-lekat. Ripin tahu apa artinya tatapan itu. Tatapan itu pernah ia tujukan pada Darka, sesaat sebelum perkelahian mereka dulu. Sebelumnya Ripin takut pada Darka, tapi saat ia menatap tajam-tajam itu, ia sudah tidak akan takut lagi. Mak sudah tidak takut lagi.
Hampir bersamaan, terdengar azan maghrib dari surau. Entah mana, azan maghrib atau tatapan Mak yang menghentikan Bapak. Bapak menoleh ke arah Ripin dan mengancam akan memukul Ripin lagi jika saat shalat nanti Ripin tak ada di surau. Bapak mengambil sarungnya dan berlalu membanting pintu.
Ripin tiba-tiba melihat Mak mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bangkit dengan sigap, lalu bertanya padanya, “Sira arep melu Mak apa Bapak?” Ripin menyebut, “Mak,” dengan gemetar. Mak masuk ke kamar, lalu tergesa-gesa memasukkan pakaian-pakaiannya dan Ripin ke dalam tas. Di depan lemari Mak sempat berhenti dan berpikir apa lagi yang perlu dibawanya. Tak jelas alasan Mak memasukkan kotak berisi perhiasan imitasi yang tidak ada harganya ke dalam tas itu.
Sebentar kemudian Mak sudah menggandeng tangan Ripin menyusuri jalan yang semakin gelap ke arah kota. Mak berjalan dengan langkah-langkah cepat dan lebar, dan Ripin kepayahan mengimbanginya. Tidak ada sepatah katapun diucapkan Mak dan Ripin melangkah dengan penuh perasaan takut. Jalan raya sudah dekat, kurang dari seratus meter. Tiba-tiba Mak berhenti. Terlihat berpikir keras, lalu berbalik arah. Setengah bergumam Mak bilang bahwa dia lupa bawa uang. Tergesa-gesa, Mak menyuruh Ripin menunggu. Tidak menunggu jawaban, Mak berlari ke arah rumah, meninggalkan Ripin sendirian.
Mulanya Ripin berdiri di jalan kampung yang lengang itu dan bermaksud menuruti Mak, namun kemudian kecemasan bergumul dan meningkat cepat. Ripin memutuskan berlari sekencang-kencangnya ke arah rumah. Tas besar yang dibawa Mak ditinggalkannya tergolek di atas jalan.
Terengah-engah, di depan rumahnya, ia mendapati pintu depan terbuka dan di dalam ruang tengah, ia dapat melihat Bapak sedang menjambak rambut Mak dan sedang menghantamkan kepala Mak yang kecil itu ke arah dinding.
Pintu masuk Tong Setan sudah dibuka. Orang-orang berebut membeli karcis. Ripin melangkah masuk dengan perasaan takjub. Orang-orang berebut menaiki tangga yang berdiri di samping tong yang sangat besar, dan Sam terdorong-dorong. Di bagian atas, Sam meniru beberapa anak yang menaiki undakan yang rupanya disediakan untuk anak-anak seukurannya. Orang-orang berebut melongok ke dalam tong.
Tong itu, Ripin teringat sumur di belakang rumahnya. Di dalam tong itu dua orang sudah mulai menjalankan trail. Lalu perlahan, seperti sihir, kedua motor itu mulai merambat di dinding tong dan semakin lama berputar semakin cepat. Ripin terkesima dengan apa yang dilihatnya sekaligus menyesal. Seandainya Mak bisa ikut. Ripin terus melihat ke arah kedua motor yang kemudian saling melompat-lompat satu sama lain. Ripin semakin terkesima begitu kedua motor itu menyusuri dinding tong sampai hampir sampai di ujungnya, begitu dekat dengan tempatnya berdiri. Tangan kecilnya bisa meraih motor-motor itu.
Tong Setan berakhir. Ripin ingin bertahan sebentar di sana, untuk menyaksikan lebih banyak lagi, tapi petugas tiket menemukannya dan mengusirnya pergi. Di luar, sebenarnya ada banyak yang belum disaksikan Ripin. Dia belum naik Komidi Putar, belum masuk Rumah Hantu, tapi tak ada uang sepeserpun tersisa dikantungnya. Kaleng tempat Mak menyimpan uang sudah dibuangnya dari tadi. Kaleng yang sekarang di genggamnya hanya berisi kelereng. Tidak ada yang mau menukar karcis masuk dengan kelereng.
Di luar, kompleks pasar malam begitu ramai. Kemanapun Ripin melangkah ia hanya melihat kegembiraan. Mak tentu akan senang, jika bisa ada di sini. Begitu ia ingat Mak, ia ingat Rhoma Irama yang mengumumkan pasar malam dengan mobil siang tadi.
Ripin mengikuti firasatnya untuk mencari arah sumber pengeras suara. Benar. Di depan sebuah meja berisi berbagai jenis jenggot dan cambang palsu, si Rhoma Irama berdiri, tetap dengan mikrofon dan suaranya yang merdu. Ia memakai pakaian yang gemerlap, persis yang pernah dilihatnya di sebuah poster Rhoma Irama. Ripin mendekat untuk memastikan sekali lagi. Jika benar ini Rhoma Irama, ia akan bisa menceritakannya pada Mak, biar Mak ikut senang. Harusnya ia berusaha lebih keras membangunkan Mak, tapi Ripin tidak tega. Tidur Mak pulas sekali.
Ripin sudah begitu dekat, dirinya dan laki-laki berpakaian gemerlap itu hanya dipisahkan meja, tapi laki-laki tidak sedikitpun memicingkan mata pada Ripin. Ripin mencoba menarik perhatian laki-laki itu, tapi rupanya ia sedang sibuk dengan berbagai pengumumannya. Iseng, Ripin mengambil satu ikat cambang dan jenggot palsu lalu menyelipkannya ke dalam kantong celananya. Laki-laki berpakaian gemerlap itu tidak menggubrisnya.
Ripin memutuskan untuk berseru padanya. “Hey, Rhoma Irama!” teriaknya lantang. Orang-orang di sekitarnya menoleh dan tertawa tercekikik. Laki-laki berpakaian gemerlap itu terkejut, lalu menoleh ke arahnya. Sadar bahwa teriakan bocah ini telah membuat lebih banyak orang memperhatikannya, laki-laki, dengan mikrofon di depan mulutnya, berkata. “Bukan. Bukan Rhoma.” Laki-laki lalu mengubah posisi berdirinya, seperti sedang berjoget. “Namaku Ruslan. Ruslan Irama,” katanya dengan suara yang berat dan basah. Orang-orang tertawa.
Ripin menatapnya dengan pandangan kecewa. “Hey, Bocah,” tegur Ruslan Irama. Ripin mendongak, gagal menutupi matanya yang mulai berkaca-kaca.
Ripin menyebut namanya dengan gemetar dan malu.
“Ah, bagus sekali. Ripin. Ripin dari Arifin.”
Lalu Ruslan Irama tiba-tiba bersuara lantang. “Semua orang bisa menjadi seperti bang haji Rhoma Irama. Siapapun juga. Pengunjung pasar malam yang kami hormati, sambut calon artis besar kita, Arifin Irama,” kata Ruslan Irama. Orang-orang yang berkumpul di sekitar meja Ruslan Irama bertepuk tangan ke arah Ripin. Lalu Ruslan Irama mengambil gitarnya. “Mulanya adalah akhlak. Lalu musik.” Lalu Ruslan Irama memetik gitarnya. Belum pernah Ripin melihat gitar yang begitu indah. Berwarna hitam mengkilat, dengan motif dengan warna emas. Suaranya nyaring dan halus.
Gitar yang indah itu masih terkenang-kenang ketika pasar malam bubar dan lampu-lampu mulai dimatikan. Persis di depan jalan masuk pasar malam, barulah Ripin sadar ia tak tahu kemana pulang. Neneknya benar. Rumahnya hilang.
Kebingungan, Ripin malah kembali melangkah masuk ke dalam komplek pasar malam. Langkah kakinya membawanya ke dekat meja Ruslan Irama. Ia terkejut melihat tidak ada siapapun di sekitar meja itu. Hanya ada sebuah gitar hitam mengkilat, tidak ada Ruslan Irama. Dengan hati-hati ia menyentuh gitar itu, lalu mengangkatnya. Ia semakin terkejut melihat betapa gitar itu begitu ringan.
Beberapa puluh menit kemudian ia menyusuri trotoar yang entah menuju kemana. Ia menyandang gitar yang dicurinya dengan keberanian yang entah datang dari mana. Ia ingat Mak. Ia tersenyum. Satu-satunya yang tidak entah adalah bahwa Mak akan selalu mencintai Rhoma Irama. Itulah yang akan diraihnya. Ia akan menjadi Rhoma Irama, bukan sekadar Ripin Irama. Setiap kali Mak akan memeluk dan menimangnya.
Sampai puluhan tahun kemudian, satu kenyataan gelap yang luput dimengertinya adalah bahwa malam itu, setelah kepala Mak menghantam dinding, Mak mati. Kenyataan lain yang tidak diketahuinya: beberapa hari setelah kematian Mak, mayat Bapak ditemukan mengambang di kali, dengan lubang di dada dan di dahi, di tembak jagoan seram bernama Petrus.
Ripin tidak pernah kembali. ***
Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Tanggapan Singkat Beserta Strukturnya | Bahasa Indonesia Kelas 9
Cerpen berjudul Seribu Kunang-Kunang di Manhattan
Seribu Kunang-Kunang di Manhattan
Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”
“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.
“Bagaimana Alaska sekarang?”
“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”
“Maksudku hawanya pada saat ini.”
“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”
“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju.Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”
Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….”
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.
Dari dapur, “bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”
“Ya, ada apa dengan dia?”
“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”
“Tapi Minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”
“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”
“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”
Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.
“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”
“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”
“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”
“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”
“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.
“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”
“Kau anak yang manis, Marno.”
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.
“Eh, kau tahu, Marno?”
“Empire State Building sudah dijual.”
“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”
“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”
“Tidak. Bisakah kau?”
“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
“Kalau saja apa, Kekasihku?”
“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”
“Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”
“Kau anak desa yang sentimental!”
Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.
“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”
“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.
“Aku merasa segar sedikit.”
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……
“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”
“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”
“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”
“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”
“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”
“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?
“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”
“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”
“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”
“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”
“Aku membosankan jadinya.”
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
“Marno, kemarilah, duduk.”
“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”
“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”
“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”
“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”
“Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”
“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”
“Ya, pohon-hari-natal.”
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.
“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”
“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”
“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”
Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.
“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”
“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”
“Aku tidak tahu, Jane.”
“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”
“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”
Sekarang Jane ikut tersenyum.
“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”
“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
“Aku harap kausuka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.
“Kausuka dengan pilihanku ini?”
“Ini piyama yang cantik, Jane.”
“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banyak kerja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”
”Kaumerasa tidak enak badan?”
“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”
“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”
“Terima kasih, Jane.”
“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.
“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”
“Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”
“Kapan, aku bisa mengharapkan itu?
“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”
“Kautahu nomorku kan? Eldorado”
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.
Cerpen berjudul Tarom
Agen saya tahu, setiap kali saya pergi ke Frankfurt, Jerman, saya tidak mau transit di bandara mana pun, selain bandara Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ada dua teman di bandara ini, yaitu Manfred pemilik restoran dan Gertrude, pramugari darat.
Pada waktu saya berkunjung ke restoran Manfred untuk pertama kali beberapa tahun lalu, dia mengajak saya bersalaman erat, lalu berbisik: ”Ibu kamu pasti orang Jerman. Ayah kamu pasti orang Asia Tenggara.”
Laki-laki anak ibu Jerman dan ayah Asia Tenggara pasti mirip ibunya, sedangkan anak perempuan pasti mirip ayahnya. Dan memang, kulit saya putih, mata saya biru, dan setiap kali saya ke Jerman, kebanyakan orang menganggap saya orang Jerman.
Karena saya tidak membantah, maka setiap kali saya singgah di restorannya, pasti dia memberi sauerkraut, salad khas Jerman, gratis. Setelah mengetahui nama saya Tarom Wibowo, wajahnya berbinar-binar, lalu mengajak saya masuk ke ruang kecil di bagian belakang restoran.
”Lihat, Tarom, saya punya buku kamu.”
Dia mengambil buku New Paradigm of Psycho-Hatred, buku saya mengenai lika-liku kejiwaan tokoh-tokoh besar, dengan data dari berbagai negara, termasuk Jerman.
”Buku hebat,” katanya. ”Maaf, saya belum pernah membaca novel kamu.”
Setelah mengobrol sebentar, dia berbisik: ”Di sini ada gadis Jerman, Gertrude namanya. Pramugari darat. Kalau mau dia bisa menjadi pramugari udara. Terbang ke mana-mana. Seperti saya, dia malu jadi orang Jerman.”
Dia berbisik lagi: ”Kamu pasti suka Gertrude. Cantik. Dan ingat, dia pengagum penulis hebat bernama Tarom Wibowo. Dia tahu kamu bukan psikolog. Tapi, insting psikologimu benar-benar hebat.”
Begitu dipertemukan dengan Gertrude, saya agak gemetar, agak bingung, karena itu memilih untuk diam, dan tampaknya perasaan Gertrude sama. Kami berjabat tangan sampai lama, telapak tangan dia dan telapak tangan saya sama-sama berkeringat dan sama-sama malas untuk saling melepaskan pegangan. Tapi, perasaan aneh merambat perlahan-lahan dari tangan dia, menyusupi tangan saya. Hawa panas bercampur hawa dingin. Dan begitu saya menatap wajahnya, saya agak merinding, lalu dia menunduk, tampak malu.
Perasaan saya tidak enak, dan saya putuskan untuk tidak bertemu dengan dia lagi. Ternyata, begitu saya masuk ke ruang tunggu penumpang, pesan dia melalui WA masuk. Begitu membuka telepon genggam setelah saya mendarat di Frankfurt, pesan dia masuk lagi, bukan hanya satu, tapi beberapa. Selama beberapa hari saya di Frankfurt untuk mengurus jual beli hak cipta sekian banyak pengarang dari berbagai negara, pesan Gertrude datang bagaikan banjir.
Dan ketika pesawat saya transit lagi di Abu Dhabi untuk kemudian disambung penerbangan ke Surabaya, Gertrude sudah menunggu, lalu mengajak saya ke ruang tunggu khusus.Perhatian dia lebih tertarik pada Berlin sebagaimana yang saya gambarkan dalam beberapa buku saya dibanding dengan cerita saya mengenai Frankfurt.
”Kalau kamu ke Berlin, ajaklah saya. Tunjukkanlah tempat-tempat yang kamu tulis dalam buku-buku kamu. Dan kalau kamu pulang, saya ikut ke Surabaya.”
Selanjutnya pesan demi pesan berdatangan terus, disertai kutipan lirik lagu ”Imagine” The Beatles, ”You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.”
Seperti biasa, ketika akan ke Frankfurt lagi, agen saya tidak pernah bertanya saya ingin naik pesawat maskapai apa asalkan singgah di Abu Dhabi.
Agen saya memilih Angel Air, sebuah maskapai penerbangan baru, berdiri sekitar tiga tahun lalu. Semua orang penting di Angel Air perempuan, sisanya, pekerjaan kasar, diserahkan kepada laki-laki. Mungkin Angel Air percaya, perempuan punya otak dan modal laki-laki hanyalah otot.
Nama pilot dan kopilot sudah beberapa kali saya simak melalui berbagai media. Saya belum pernah bertemu mereka, tapi andaikata bertemu, pasti saya mengenal mereka. Pilot bernama Awilia, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter mata terkenal, kopilot bernama Azanil, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter jantung terkenal. Sejak zaman mahasiswa, empat calon dokter ini sudah bersahabat, dan ketika sudah menjadi dokter mereka bekerja di rumah sakit yang sama.
Awilia lahir jam 10:15, Azanil lahir pada hari dan tanggal sama, jam 10:18, di rumah sakit yang sama pula. Umur mereka terpaut tiga menit, dan setelah besar Awilia memperlakukan Azanil sebagai sahabat muda, dan Azanil selalu ingin dijadikan nomor dua. Sejak TK sampai dengan SMA mereka selalu bersama-sama, dan setelah lulus SMA mereka sama-sama menentang keinginan orangtua mereka untuk menjadi dokter. Alasan mereka sama: pada zaman dahulu kala, terceritalah ada dua sahabat karib, yang laki-laki genius tapi homo bernama Leonardo da Vinci, dan yang perempuan luar biasa cantik, Monalisa namanya. Sambil melihat burung-burung beterbangan, berkatalah Leonardo: ”Monalisa, lihatlah burung-burung itu. Pada suatu saat, manusia pasti bisa terbang seperti burung.” Monalisa tidak percaya, tersenyum, tanpa berkata apa-apa.
Awilia dan Azanil sama-sama mengirim lamaran ke Akademi Penerbangan Airbus di Toulouse, Perancis, sama-sama diterima, dan lulus juga bersama-sama, masing-masing dengan nilai tinggi. Setiap terbang mereka tidak mau dipisah, dan meskipun Awilia ingin gantian menjadi kopilot, Azanil selalu menolak. ”Yang muda harus menghargai yang tua,” katanya bergurau.
Setelah pesawat mencapai 15.000 kaki, seorang pramugari memberi saya kertas kecil.
”Selamat terbang bersama kami pengarang Tarom Wibowo. Kita nanti bertemu di Abu Dhabi.”
Saya tidak tahan menahan kantuk. Ada banyak kontrak dan jual beli hak cipta dari sekian banyak pengarang dan penerbit yang harus saya urus di Frankfurt nanti, dan ada banyak pula buku yang harus saya baca, khususnya buku Rochus Misch, bekas pengawal pribadi Hitler, mengenai kematian Hitler. Saya tertidur.
Buah tidur adalah mimpi: ibu saya bercerita mengenai bangsa Jerman dan bangsa Jepang, dua bangsa besar dan sama-sama tololnya. Bangsa Jerman sangat setia kepada manusia bernama Hitler, dan bangsa Jepang sangat patuh pada keturunan Dewi Matahari, yaitu Kaisar Hirohito. Karena ketololannya, atas hasutan Hitler, bangsa Jerman dengan penuh semangat merusak dunia, demikian pula bangsa Jepang, bukan oleh hasutan manusia.
Ingat, kata ibu saya, dalam PD I Jerman dikalahkan oleh Jepang, dan semua tawanan perang Jerman diperlakukan dengan sangat baik oleh Jepang, bahkan lebih baik daripada serdadu Jepang sendiri.
Perang antara Jerman dan Jepang dalam PD I mirip dengan perang antara Indonesia dan Malaysia di perbatasan dua negara di Kalimantan setelah Bung Karno menyatakan perang melawan Malaysia dengan semboyan ”Ganyang Malaysia”. Serdadu Indonesia dan serdadu Malaysia pura-pura saling tembak, kemudian lari-lari menuju musuh, berangkulan erat, bertukar rokok, kemudian bergurau. Karena hanya pura-pura, perang ini dengan mudah diakhiri dengan perdamaian. Jepang dan Jerman pura-pura bertempur, tidak lain karena mereka bersiap-siap bersekutu untuk menghancurkan dunia dalam PD II.
Karena bangsa Jerman setia kepada manusia dan bangsa Jepang setia bukan kepada manusia, kesetiaan mereka berbeda. Dalam mimpi ini pula ibu saya membanggakan kesetiaannya kepada keluarganya, lalu meminta saya membaca majalah Femina tahun 1980-an, mengenai kesetiaan istri Jepang terhadap suami orang Indonesia. Istri Jepang sangat setia kepada suami, dan begitu anak dia sudah bisa dibawa lari, dia akan lari bersama anaknya, kembali ke Jepang, disembunyikan oleh keluarganya di Jepang. Ibu saya berbicara mengenai dua bangsa ini karena dia tahu saya pernah jatuh cinta kepada gadis Jepang dan sekarang mungkin kepada gadis Jerman.
Setelah terbangun, saya ingat cerita ibu saya mengenai pertemuan antara orangtua saya sebelum menikah. Hati ibu saya berkata, ayah saya mempunyai kemampuan terpendam, dan ternyata benar: begitu tahu ada pabrik akan bangkrut, ayah saya membelinya, memperbaikinya, kemudian menjualnya. Terakhir dia membeli pabrik smelting yang hampir bangkrut di Gresik, selama satu tahun memperbaikinya, kemudian menjualnya kepada orang India.
Sebelum menikah, ayah saya juga yakin, ibu saya mempunyai kekuatan terpendam: lidahnya tajam, begitu ada makanan masuk ke mulutnya, dia tahu rahasia pembuatannya. Buku masakan ibu saya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan dia sering diundang ke mana-mana, termasuk luar negeri, untuk berbicara mengenai masakan.
Ketika iseng mengambil majalah, saya terkejut: foto Gertrude terpampang di kulit sebuah majalah, dan di berbagai halaman di majalah-majalah lain. Dia dinobatkan sebagai pramugari darat terbaik di Negara-negara Teluk setelah juri dari berbagai negara menyimak bandara di Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan Qatar. Gertrude pemalu, pemilihan pramugari terbaik dan pemasangan fotonya pasti di luar kemauan dia.
Setelah menyimak fotonya, hati saya berkata, Gertrude pasti mempunyai rahasia terpendam, dan ada kesamaan antara Mandred dan Gertude. Menurut Gertude, Manfred keturunan serdadu Jerman yang suka menyiksa, merampok, dan memerkosa di negara-negara jajahan Hitler selama PD II. Dia malu menjadi orang Jerman, tapi kadang-kadang harus kembali ke Jerman karena ibunya di Jerman sering sakit.
Begitu turun dari pesawat, Amilia dan Azanil menemui saya, minta tanda tangan buku-buku saya, buku yang, kata mereka, menemani mereka dari bandara satu ke bandara lain. Dengan membaca novel-novel saya, terasa mereka bisa mengamat-amati lika-liku jiwa mereka sendiri.
Mereka mengajak saya ke ruang tunggu khusus, dan di sana Gertrude sudah menunggu. Dengan nada bercanda mereka mengatakan, sebagai pengarang hebat, pasti saya mampu mengangkat gejolak jiwa Gertrude dalam novel.
Setelah mereka pergi, dengan sangat hati-hati saya berkata kepada Gertrude mengenai kisah kematian Hitler. Setelah Hitler yakin kalah, dia dan banyak pengikut setianya bertekad bunuh diri bersama Hitler. Pada saat itulah, salah satu arsitek holocaust yang sangat keji dan seharusnya ikut bunuh diri bersama keluarganya melarikan diri.
Gertrude menunduk, lalu berkata: ”Saya tahu siapa dia. Martin Bormann namanya. Darah saya kotor. Saya keturunan Bormann.”
Pikiran saya melayang ke ibu saya. ***
Baca Juga: Bagaimana Cara Membedakan Fakta dan Opini dalam Teks Iklan? | Bahasa Indonesia Kelas 9
Cerpen berjudul Kegemaran yang Langka
Kegemaran yang Langka
Ibu Mimi berjualan makanan di depan rumahnya. Banyak pegawai kantor yang datang dan makan di kantin ibu Mimi. Setiap hari, ibu Mimi membeli banyak kaki ayam. Karena ada satu makanan berkuah yang lebih lezat bila dimasak dengan kaki ayam.
Nah, kaki ayam ini amat disukai Mimi. Rasanya gurih, legit, dan … pokoknya nikmat. Waktu masih kecil Mimi sering makan 2 buah kaki ayam. Sekarang, setelah kelas V, Mimi bisa menghabiskan setengah lusin kaki ayam.
Tetapi, kegemaran Mimi ini nyaris terhenti.
Suatu siang, Rita dan Agnes datang saat Mimi sedang makan siang. Di hadapannya ada semangkuk kaki ayam, lengkap dengan cekernya. “Hai, kalian mau makan? Ayo, kita makan.
Agnes dan Rita saling berpandangan, lalu tertawa.
“Kenapa?” tanya Mimi heran.Tangannya tetap memegang sepotong kaki ayam.
“Aku heran, kamu kok nikmat benar makan kaki ayam. Aku tak pernah mau memakannya!” jawab Rita.
“Aku juga. Malah aku baru pernah lihat ada orang suka makan kaki ayam!” tambah Agnes.
“Oh, ya? Aku kira banyak orang yang suka makan kaki ayam. Lezat kok. Ah, mungkin kalian berdua saja tidak suka karena belum pernah mencobanya. Cobalah satu!” Mimi menawarkan.
Rita dan Agnes menunjukkan wajah jijik.
“Aku jadi ingin tahu berapa orang anak di kelas kita yang suka makan kaki ayam!” tiba-tiba Rita berkata.
“Baik, besok aku akan menanyakan pada teman-teman kita. Akan kubuktikan cukup banyak orang yang tahu lezatnya kaki ayam!” kata Mimi bersemangat.
Esok harinya, Mimi membawa notes kecil dan menuliskan nama-nama kawan sekelasnya yang 37 orang itu. Lalu, ia menanyai mereka satu persatu. Pekerjaan itu tidak sulit. Ia melakukannya sebelum bel masuk berbunyi, waktu istirahat pertama dan kedua. Namun, hasilnya mengecewakan Mimi. Ternyata, tak seorang pun kawan sekelasnya suka makan kaki ayam.
Sekarang Mimi mulai ragu-ragu. Jangan-jangan ia yang aneh karena suka makan kaki ayam. Apakah sebaiknya mulai sekarang ia tidak makan kaki ayam lagi? Tetapi, bisakah ia menghentikan kegemarannya itu?
Masih tengiang-ngiang di telinganya jawaban kawan-kawannya, “Ih, aku sih jijik.”
“Ayam biasanya mencakar di tempat-tempat sampah,” kata Yuli.
“Ha, ha, ha, kamu suka makan kaki ayam? Kamu juga suka buntut dan kepala ayam?” goda Dani.
“Ih, amit-amit seperti tak ada makanan lain saja!” kata Ine.
Sepulang sekolah wajah Mimi murung. la tak mengira kegemarannya itu merupakan kegemaran yang langka. “Sudah pulang, Mi? Itu di panci ada kaki ayam,” ujar Ibu.
Mimi menggelengkan kepalanya.
“Lho, ada apa?” tanya Ibu heran. Mimi menceritakan masalahnya, lalu berkata, “Ibu tak pernah bilang kalau banyak orang tak mau makan kaki ayam!”
Ibu tertawa dan berkata, “Memangnya kenapa? Nah, coba kamu jawab pertanyaan-pertanyaan ini. Lalu, kamu ambil keputusan apakah kamu mau meneruskan atau menghentikan kegemaranmu!”
“Pertama, kalau kamu suka kaki ayam apakah dirimu menjadi rugi?” tanya Ibu.
“Kedua, apakah sikap kawan-kawanmu berubah setelah mereka tahu kamu suka makan kaki ayam?” tanya Ibu lagi.
“Ketiga, apakah kalau misalnya si Rita suka makan daun pepaya yang pahit, semua anak di kelas harus mengikuti kegemarannya?” Ibu mengajukan pertanyaan yang terakhir.
“Kalau begitu, ambillah keputusan yang terbaik bagimu!” kata Ibu.
Mimi tersenyum. Hilanglah keraguannya. la mengucapkan terima kasih pada Ibu, lalu mengambil mangkuk kosong dan pergi ke dapur. Selanjutnya kamu tahu apa yang dikerjakan Mimi, bukan?
Baca Juga: Cara Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen | Bahasa Indonesia Kelas 11
Cerpen berjudul Hari yang Sempurna untuk Kanguru
Hari yang Sempurna untuk Kanguru
Oleh: Haruki Murakami
Alih Bahasa oleh Habi Hidayat
Ada empat ekor kangguru di kandang—satu jantan, dua betina, dan satu ekor lagi adalah bayi kangguru yang baru lahir.
Aku dan pacarku berdiri di depan kandang kangguru. Kebun binatang ini tidak terlalu populer di pagi hari Senin seperti ini, jumlah binatangnya melebihi jumlah pengunjung. Tidak ada yang menarik di kebun binatang ini.
Hal yang menarik kami mendatangi kebun binatang ini adalah seekor bayi kangguru. Maksudku, apa lagi coba yang bisa dilihat di kebun binatang ini?
Sebulan sebelumnya, di sebuah rubrik di sebuah koran lokal, kami tak sengaja membaca sebuah pemberitahuan tentang lahirnya seekor bayi kangguru, dan sejak saat itulah kami sudah menunggu-nunggu sebuah pagi yang sempurna untuk mengunjungi bayi kangguru tersebut. Namun bagaimana pun juga, hari yang tepat tidak juga datang. Suatu pagi, turun hujan deras, dan kami cukup yakin hujan bakal turun lagi di hari-hari berikutnya, dan angin pun berembus-embus kencang untuk dua hari berturut-turut. Suatu pagi, pacarku mengeluh sakit gigi, dan di pagi yang lain aku punya urusan yang harus aku selesaikan di pusat kota. Aku tidak hendak membuat pernyataan yang dibesar-besarkan di sini, namun aku berani untuk mengatakan bahwa:
Jadi bagaimana pun juga satu bulan itu waktu yang singkat.
Selama sebulan sesuatu bisa berlalu apa adanya. Aku tidak pernah benar-benar mengingat sesuatu yang sudah kulakukan selama sebulan. Sewaktu-waktu, seolah-olah aku sudah melakukan banyak hal, namun sewaktu-waktu yang lain aku merasa tidak menyelesaikan satu hal pun. Satu hal yang membuatku sadar kalau satu bulan telah berlalu adalah ketika lelaki yang mengantarkan koran harian datang ke rumah untuk menagih uang langganan.
Pada akhirnya, pagi yang kami tunggu-tunggu untuk melihat bayi kangguru datang juga. Kami bangun dari tidur pada pukul enam pagi, membuka gorden, dan yakin hari itu adalah hari yang sempurna untuk kangguru. Kami buru-buru membersihkan diri, sarapan, memberi makan kucing, buru-buru mencuci baju lalu mengenakan topi untuk menghalau sinar matahari, dan kami pun berangkat.
“Apa kau pikir bayi kangguru itu masih hidup?” pacarku bertanya saat kami di kereta.
“Aku yakin ia masih hidup. Tak ada satu berita pun yang mengabarkan bahwa bayi kangguru itu mati. Jika saja ia mati, aku yakin kita sudah membacanya di koran.”
“Mungkin saja tidak mati, tapi bisa saja ia sakit dan dirawat di rumah sakit.”
“Ya, tapi kalau pun itu terjadi, kita sudah membaca di koran.”
“Bagaimana jika kangguru itu ketakutan dan bersembunyi di sudut kandang?”
“Apa bayi kangguru punya rasa takut?”
“Bukan bayinya. Tapi ibunya! Mungkin ia mengalami trauma dan menyudutkan diri bersama bayinya di kandang yang gelap.”
Seorang wanita memang selalu memikirkan setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Trauma? Trauma macam apa coba yang bisa menyerang seekor kangguru?
“Jika aku tak melihat bayi kangguru hari ini, aku pikir aku tidak akan punya kesempatan untuk melihatnya lagi,” katanya.
“Kupikir juga begitu.”
“Maksudku, pernahkah kau melihat bayi kangguru?”
“Tidak, aku tak pernah melihatnya.”
“Apa kau yakin kau bakal punya kesempatan lain untuk melihat bayi kangguru?”
“Nah, karena itulah aku gelisah.”
“Ya, tapi dengar dulu,” kataku nyerocos balik. “Aku tak pernah melihat seekor jerapah melahirkan, atau bahkan melihat hiu yang berenang-renang. Jadi apa masalahnya dengan bayi kangguru?”
“Ya karena ia bayi kangguru,” katanya. “Karena itulah.”
Aku pun menyerah dan mulai membalik-balikkan halaman koran. Aku tidak pernah satu kali pun menang argumen dengan seorang perempuan.
Bayi kangguru itu, sesuai perkiraan, masih hidup dan sehat, ia (entah jantan atau betina) terlihat tampak jauh lebih besar dibandingkan dengan gambarnya yang dimuat di koran, bahkan ia melompat-lompat di sekitar pagar kandang. Ia tak lagi seekor bayi kangguru, hanya kangguru mini. Pacarku pun kecewa.
“Ia bukan bayi lagi,” katanya.
“Tentu saja ia masih bayi,” kataku mencoba menghiburnya.
Aku melingkarkan tanganku ke pinggangnya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan. Ia cuma menggelengkan kepala. Aku ingin berbuat sesuatu untuk menghiburnya, tapi apa pun yang kukatakan tidak bakal mengubah kenyataan bahwa si bayi kangguru ternyata sudah besar. Jadi aku cuma diam.
Aku bergegas menuju warung kudapan dan membeli dua cokelat es krim, dan ketika aku kembali ia masih bersandar menghadap kandang kangguru, menatap bayi kangguru itu lekat-lekat.
“Ia bukan lagi seekor bayi kangguru.”
“Kau yakin?” kataku seraya memberinya es krim.
“Seekor bayi kangguru mesti berada di kantung induknya.”
Aku mengangguk dan menjilat es krimku.
“Tapi yang ini tidak lagi berada di kantung induknya.”
Kami berusaha mengenali induk kangguru. Sang ayah, mudah untuk dilihat, ia tampak paling besar dan begitu tenang di antara lainnya. Layaknya seorang komposer yang bakatnya telah memudar, ia hanya diam saja, menatapi dedaunan yang menjadi makanannya. Dua kangguru lainnya adalah betina, terlihat dari bentuk, warna, dan air muka mereka. Salah satunya mesti ibu si bayi kangguru.
“Satu di antara dua kangguru itu mesti ibu si bayi, dan satu lagi bukan,” kataku berkomentar.
“Jadi yang mana yang bukan ibunya?”
“Aku tak tahu,” katanya.
Kami tak sadar bahwa ternyata bayi kangguru itu melompat-lompat di pagar kandang, lalu sesekali mengorek-ngorek tanah untuk alasan yang tidak jelas. Ia (entah jantan atau betina) tampaknya menemukan cara untuk membuat dirinya sibuk. Si bayi kangguru melompat-lompat di sekitar bapaknya berdiri, mengunyah sedikit dedaunan, dan mengorek-ngorek lumpur, mengganggu kangguru betina, lalu berbaring di tanah, berdiri lalu melompat-lompat lagi.
“Bagaimana bisa kangguru melompat-lompat begitu cepat?”
“Agar bisa melarikan diri dari musuh?”
“Manusia,” kataku. “Manusia membunuh mereka dengan bumerang dan menyantap mereka.”
“Kenapa bayi kangguru sanggup naik ke kantong ibunya?”
“Agar bayi kangguru bisa menyelamatkan diri bersama ibunya. Bayi kangguru tidak bisa berlari cepat.”
“Jadi mereka terlindungi?”
“Ya,” kataku. “Sang ibu melindungi anak-anaknya.”
“Berapa lama sang ibu melindungi anak-anaknya seperti itu?”
Aku sadar aku seharusnya membaca beberapa hal tentang kangguru di sebuah ensiklopedia sebelum kami bertamasya kecil seperti ini. Rentetan pertanyaan seperti ini memang sudah seharusnya aku perkirakan.
“Sebulan sampai dua bulan, aku bayangkan.”
“Tapi bayi itu cuma berumur sebulan sekarang,” katanya seraya menunjuk bayi kangguru. “Jadi mestinya ia masih di kantung ibunya.”
“Ya, aku pikir juga begitu.”
Matahari mengangkasa di atas kepala, dan kami tak bisa mendengar teriakan anak-anak di kolam renang di dekat kami. Sepotong awan putih melintasi kami.
Seorang pelajar tengah bekerja di warung hotdog yang dibentuk layaknya sebuah minivan dengan beberapa kotak pengeras suara yang mengedarkan alunan suara Stevie Wonder dan Billy Joel saat aku menunggu hotdog yang tengah dimasak.
Saat aku kembali ke kandang kangguru, pacarku buru-buru berkata, “Lihat!” menjerit, seraya menunjuk satu di antara kangguru betina. “Kau lihat, bukan? Bayi kangguru di kantong ibunya!”
Aku cukup yakin bayi kangguru itu sudah meringkuk di kantung ibunya (anggap saja kangguru betina itu adalah benar-benar ibunya). Kantung kangguru betina itu benar-benar terisi penuh, dan sepasang telinga mungil dan sepucuk ujung ekor mengintip dari balik kantungnya. Ini benar-benar pemandangan yang luar biasa dan benar-benar membuat tamasya kami tak sia-sia.
“Mungkin terasa berat membawa bayi kangguru di dalam kantung,” katanya.
“Jangan khawatir, kangguru itu hewan yang kuat.”
“Ya, tentu. Karena itulah mereka bertahan hidup.”
Meski hidup dengan panasnya matahari, ibu kangguru tidak menderita. Pacarku terlihat layaknya seorang perempuan yang baru saja menyelesaikan belanjaan sorenya di supermarket di sekitar wilayah Aoyama yang indah, dan tengah bersantai istirahat menikmati secangkir kopi di warung kopi.
“Ibu kangguru itu benar-benar melindungi bayinya, bukan?”
“Aku bayangkan bayi kangguru itu tidur lelap.”
“Ya, mungkin saja.” ***
Cerpen berjudul Suatu Sisi Dalam Hidupmu
Suatu Sisi Dalam Hidupmu
Siang ini begitu teriknya, matahari bersinar tak ada kompromi, menyengat dan membakar bumi, begitu panasnya. Aku berjalan terseok-seok membawa satu bakul nasi, yang harus masih panas, dua termos air panas dan dua lembar kain lap bersih. Ah, emak, kalau bukan karena perintah emak, aku tak akan mau membawa barang berat ini. Tapi emak, emak yang memerintah! Aku tak mau dibilang anak durhaka. Jadi, yah, siang yang panas ini aku harus mengantar pesanan emak.
Emak adalah tulang punggung keluarga, kalau tidak ada emak mungkin aku tidak bisa merasakan nikmatnya sekolah, belajar, berteman, dan semua yang menyenangkan. Sedangkan bapak, bapak tidak bisa diandalkan. Setiap hari selalu saja berjudi. Kalau tidak berjudi, ya, tidur molor di rumah. Dia sangat menyebalkan, tapi walaupun menyebalkan dan aku membencinya, dia adalah bapakku. Kasihan emak yang selalu menderita, kadang aku berpikir, coba kalau emak jadi bapak dan bapak jadi emak, mungkin keadaannya akan lebih lumayan.
“Aduh…”, tiba-tiba aku menabrak seseorang.
Krompyang…krompyang…krompyang, semua bawaanku jatuh berantakan, tapi untung saja bakul nasi sudah kubungkus dan kuikat rapat-rapat, kalau tidak, wah gawat, emak bisa nyanyi nih. Eh, iya, siapa yang kutabrak tadi, ya? Aku mengangkat kepala dan, ya ampun!!! Kerennya, aduh mak, pakai dasi, rapi, necis, waduh-duh! Mesti orang gedongan nih.
“Maaf…”, tiba-tiba dia bersuara.
Aduh emak, copot jantungku. Waduh, gimana ya, gawat bin gawat nih. Wah, keadaan darurat…, cepat-cepat aku membereskan bawaanku dan cepat-cepat ku ayunkan kakiku, baru beberapa langkah…
“Eh, nona, permisi, maaf, aku tadi tidak sengaja”, katanya lagi.
“Sudahlah, aku yang salah. Maaf ya, permisi”, kataku kemudian dan akupun berjalan tergesa-gesa meninggalkannya.
Dari kejauhan dia masih memanggilku, “Nona, nona tunggu!”, tapi aku tak menggubrisnya. Aku malu! Bagaimana tidak? Dandananku amburadul, dan dia necis. Oh, dia, dia memanggilku nona, hi..hi..hi, lucu juga ya. Seumur-umur baru kali ini aku dipanggil nona. Ah, sudahlah, kalau melamun terus bisa-bisa nanti menabrak lagi.
Ah, capeknya, dari tadi siang aku harus membantu emak melayani pembeli. Lumayan banyak sih, sopir-sopir bus, sopir truk, penumpang-penumpang bus. Walaupun setiap hari dapat untung banyak, tetapi kalau aku sih, lebih baik tidak dapat uang daripada capek, tapi gimana lagi ya?!
Setiap hari kehidupanku selalu begini, pagi sekolah, siang sampai malam membantu emak. Malam hari, setelah membantu emak, aku belajar. Untungnya, aku tidak mempunyai adik maupun kakak, jadi kasih sayang emak selalu terlimpah padaku.
Setiap aku datang ke warung emak untuk membantu, emak sembari melayani pembeli, selalu menanyakan bagaimana keadaanku, tentang sekolahku dan mengenai teman-temanku. Dan akupun selalu menjawabnya dengan antusias dan bersemangat, walaupun aku tahu kalau emak kadang memperhatikan kadang pula tidak mendengarkan, tapi aku peduli, karena dengan bercerita pada emak, aku dapat menumpahkan semua isi hatiku.
Aku merasa puas, walaupun aku terlahir dari keluarga yang tak mampu, aku tak menyesal. Aku mempunyai emak yang selalu menyayangiku dan selalu mencukupi kebutuhanku walaupun masih kurang. Ah, itu tidak apa-apa. Tapi aku tak mau menceritakan bapak, karena aku memang tak tau apa yang harus diceritakan, lain halnya jika aku menceritakan emakku.
Kalau sedang tidak ada pembeli, kadang aku duduk melamun melihat orang-orang yang bermacam-macam bentuk jenisnya berlalu lalang. Dari orang yang berdasi dan bersaku tebal sampai anak kecil yang tak berbaju. Sebenarnya Tuhan itu Maha Adil, diciptakannya bermacam-macam manusia, ada yang kaya, ada yang miskin, yang kaya harus membantu yang miskin, dan yang miskin harus menghormati yang kaya. Ah, benar-benar komplit.
Pada suatu sisi, ada orang yang makan dengan lahap segala makanan yang terhidang di hadapannya, di sampingnya duduk seekor anjing kecil, manis, tapi menurutku menjijikkan juga karena lidahnya yang selalu terjulur keluar dan meneteskan air liur. Si wanita yang mempunyai anjing itu makan dengan lahapnya tanpa memperdulikan sekelilingnya dan setelah selesai, ia memberikan makanan yang belum disentuhnya pada anjing tersebut.
Di sisi yang lain, ada seorang gelandangan yang mengais makanan di tong-tong sampah, jika mencari sisa-sisa makanan. Bila mendapatkan sisa makanan, tanpa memperdulikan apakah makanan itu layak atau tidak untuk dimakan, disantapnya dengan lahap. Begitu berbedanya suatu keadaan semacam ini.
Kadang, aku berpikir jika aku mempunyai kuasa seperti Tuhan, aku akan mengubah semua keadaan ini. Ah, kubayangkan bagaimana jika yang kaya berubah menjadi miskin dan si miskin berubah menjadi kaya, tak bisa kubayangkan jadinya.
Adzan Ashar menggema, seiring dengan terdengarnya suara deru mobil di luar, lamunanku menjadi buyar. Ah, kenangan masa lalu dan akupun bangkit serta melihat dari balik gorden jendela. Di luar sana, suamiku bersama anak laki-lakiku yang baru pulang dari les baru turun dari mobil. Suamiku, orang yang kutabrak dulu.
Aku tersenyum terkenang masa lalu, betapa indahnya. Aku pun berjalan menyambut mereka.
Emak…, suatu kata yang penuh arti untukku.
Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Laporan Percobaan Singkat & Strukturnya | Bahasa Indonesia Kelas 9